Minggu, 08 Maret 2009

LELAKI PALESTINA


Oleh: Rahmat Heldy HS

Wajah-wajah yang diburu ketakutan serta mayat-mayat yang bergelimpangan. Tidak hanya malam ini sungai di matanya menderas, tetapi hampir setiap malam, sejak perang Palestina-Israel meletus. Dadanya sesak apabila wajah-wajah yang muncul di layar kaca itu adalah bocah-bocah tak berdaya bersimbah darah. Hal ini mengingatkan kejadian sepuluh tahun yang lalu ketika perusahaan minyaknya ada yang meledakkan orang-orang berhamburan menyelamtkan diri. Dan menyebabkan kakinya harus diamputasi kedua-duanya. Tetapi ia akan sangat benci, apabila yang muncul itu segerombolan pasukan dengan persenjataan lengkap. Bahkan ia sering meludahi tv-nya itu, manakala tank-tank pengebom mulai melancarkan aksinya.
Aku sering dipanggilnya untuk sekedar menemaninya ngobrol sambil menyeruput kopi. Rumahnya yang bertingkat itu sepi. Ia hidup seorang diri, istrinya pulang ke Amerika dengan membawa kedua anaknya. Dulu, di rumah ini ada tiga pembantu, tetapi, sekarang hanya ada satu, yaitu, Mbak Siti. Rumah megah bertingkat, tapi sepi-sunyi tiada henti.
“Di kursi ini aku sering berdialog sendiri, mendengarkan ocehan banyak orang yang memiliki banyak kepentingan,” kata-katanya memulai perbincangan. “Semua ini kulakukan hanya karena aku ingin melupakan kegetiran hidup dengan Meeca yang kini telah jauh dari dekapan,” imbuhnya
“Tapi kenapa Pak Tom berpisah dengan Meeca?” tanyaku tak mengerti.
Lelaki yang bernama lengkap Syeikh Mahmoud Gultom itu, kembali mendorong rodanya. Disambarnya gelas yang ada di sampingnya dan menyeruput isinya hingga setengah. Ketika mulutnya hendak menjawab pertanyaanku, sebuah rudal menghantam sekolah milik PBB di Jalur Gaza Utara dan disusul dengan gambar wajah wanita menyampaikan informasi tentang keganasan Israel. Dilayar kaca orang-orang berhamburan ke luar disusul dengan bunyi sirene kemudian darah dan mayat diangkut ke ambulance, wajah-wajah ketakutan dan bocah yang kelimpungan tak tahu arah. Pak Gultom matanya kembali basah, basah! Dan sekian kalinya ia menahan sesak. Lama ia tak bicara, ia terbawa hanyut dengan derai air mata orang-orang di pengungsian. ditatapnya gambar yang ada di depannya penuh penghayatan. Kemudian…
“Setelah umur 60-an ini aku mengerti kenapa semua orang ingin membunuh,” katanya sambil menghapus sungai kecil di matanya. “Dan kenapa akhirnya aku memilih berpisah dengan Meeca, sebab ia ingin juga membunuhku. Apalagi aku keturunan Palestina yang kebetulan di besarkan di negeri orang,” kenangnya
Dari perbincangan dengan Pak Gultom aku belum menangakap tentang apa yang ingin disampaikannya padaku. Tetapi ketika ia mengatakan berdarah Palestina aku hanya mengira-ngira bahwa ia tidak rela tanah kelahirannya diinjak-injak oleh negara tetangganya.
Setelah pemberitaan di tv itu, berpindah ke acara olahraga. Pak Gultom kembali menceritakan kenapa ia berpisah dengan istrinya. Kini ia tak mau menyentuh kopi yang mulai dingin di sampingnya. Ia menceritakannya kepadaku dengan hati yang remuk, dengan perasaan yang berhamburan seperti darah orang-orang di negaranya.

***
“Jauh sebelum kami mengikat hubungan untuk seumur hidup. Kami bersepakat bahwa hal yang tidak bisa kita pisahkan adalah perkara hak dan kemanusiaan, tentunya dengan kepatuhan dia sebagai seorang istri terhadap suami. Termasuk tinggal di negara ini. Tetapi badai yang mengahantam perahu keluarga ini hancur, ketika Israel menggempur Kota Gaza. Kota itu adalah kota kelahiranku. Aku melihat para relawan berangkat ke sana. Sementara aku yang terlahir dari Gaza malah tidak bisa berbuat apa-apa. Kamu lihat, kamu lihatakan? Betapa tak berdayanya aku di kursi roda ini,” Ia masih terus bercerita dengan derainya. “Hingga pada suatu hari, ketika para LSM, Mahasiswa, dan masayarakat berdemo dan sibuk menggalang dana, akhirnya sebagian dari kekayaanku yang kuperoleh dari bekerja di perusahaan agen penayaluran minyak Timur Tengah kusumbangkan untuk mengurangi beban penderitaan saudaraku di sana. Maka, sejak itulah ia minta untuk dicerai. Aku tak mengerti kenapa bisa terjadi demikian!? Ya.., Allah! ”.
Pak Tom larut dalam sedihnya yang tak terbendung. Jiwanya masuk dari lorong-ke lorong dari gang ke gang tempat persembunyian rakyat sipil dari incaran meriam Israel.
“Tentu aku paham perasaan Pak Tom saat ini. Tetapi saya sebagai tetangga tidak bisa membantu banyak,” kataku sekedar untuk menghapus rasa sedihnya. “Tetapi jika bapak berkenan singgahlah di rumahku, barangkali bisa mengobati kesedihan bapak,” kataku sebelum meninggalkannya seorang diri di kursi rodanya.
Aku meninggalkannya di rumah tingkat itu seorang diri. Senja yang melengkung di ufuk timur berwarna kuning tembaga, temaram melintang seperti gumpalan api sisa ledakan yang mengangkasa.
***
Keesokan paginya ia menemuiku dengan menaiki kursi rodanya. Berkelok-kelok di gang, tangannya penuh dengan lumpur sebab hujan turun malam ini. Peluh menetes dari kulitnya yang merah.
“Ya, ampun!” aku terkejut. “Ada apa, Pak Tom pagi ini kerumah? Tidak biasanya, dan mana Mbak Siti?” tanyaku penuh heran.
Kursi rodanya kudorong ke dalam rumah. Kuambilkan air untuk membersihkan tangannya dari lumpur.
“Ada hal penting yang ingin aku sampaikan. Dan untuk Siti, pembantuku itu ia sudah pulang pagi tadi,” ia memantapkan tempat duduknya dan aku memandangnya dengan wajah yang serius
“Meeca Magdalena meninggalkanku, aku paham, sebab, kita beda pandangan dan idiologi. Ia tidak ingin negaranya di cap teroris di negara ini. Dan yang membuatnya benci padaku ketika aku menyumbangkan setengah hartaku. Karena menurut Meeca, itu sama juga dengan mendukung teroris di Palestina,” Akunya. “Tetapi aku datang padamu bukan untuk bercerita tentang istriku. Tetapi aku ingin pulang ke negaraku. Aku ingin pulang ke tanah kelahiranku. Sebab makam ayah dan Ibuku ada di sana,” lelaki itu kembali meratap.
“Min?” ia memanggil namaku hanya ujungnya saja, mungkin ia lupa kalau nama lengkapku Sahril Amin . “Jika engkau bisa mengantarkanku ke Rafah perbatasan Mesir dan Palestina, maka sebagai hadiah rumah itu untukmu, sekaligus surat-suratnya”.
“Gila! Kali ini Pak Gultom benar-benar serius,” kataku dalam hati
Kukatakan bukan berarti aku tak mau menolongnya, tapi apakah mungkin dengan situasi perang yang berkecamuk ia bisa selamat ke Palestina. Bukan persoalan hadiah tapi keselamatan itu lebih penting. Pak Gultom terus memaksa. Akhirnya dengan keterbatasanku berbahasa arab. Aku hanya bisa mengantarkannya sampai ke bandara. Ia memelukku dengan erat dan embun dari pipinya mulai basah di pundakku.
“Selamat tinggal anak muda. Aku cinta terhadap negriku”
Kemudian petugas Bandara membopongnya ke dalam pesawat.
***
Dua hari kemudian di layar kaca aku melihat para petugas kedokteran dengan rakyat sipil Palestina tergesa-gesa menghindari hujan mortil yang di tembakan tentara Israel, mendorong kursi roda masuk ke dalam rumah sakit. Dan wajah Syeikh Mahmoud Gultom berdiam di sana.

Serang, 20 Januari 2009

Komentar Buku Kampung Ular


BEDAH PUISI “KAMPUNG ULAR” KARYA RAHMAT HELDY HS
Oleh: Jang RuDun

“Identitas seorang penyair adalah pencapaian kata-kata yang diolahnya dalam puisi. Kampung Ular kumpulan puisi Rahmat Heldy HS bergulat dan ingin menemukan jati diri kata-kata dengan pikiran dan renungannya yang agak cekatan dan romantis.” (Ahmad S Rumi, dosen Sastra Untirta, Serang)

Lumbung Banten Rumah Dunia (LRD) bekerjasama dengan Banten Raya Post dan Banten TV kembali mengadakan kegiatan untuk pendokumentasian tentang Banten. Jika 10 Januari diisi diskusi tentang “Kekuasaan dan Dinasti di Banten”, kali ini:

BEDAN BUKU PUISI ”KAMPUNG ULAR” KARYA RAHMAT HELDY HS
Sabtu 31 Januari 2009, pukul 13.30
Menu: Peluncuran buku puisi “Kampung Ular” karya Rahmat Heldy HS
Bedah Puisi:. Ahmad s. Rumi (dosen Sastra Untirta) dan Sulaeman Jaya (penyair)
Deklaasi puisi: Para pelajar SMA Al-Irsyad Waringin Kurung

Tempat: Taman Budaya Rumah Dunia

Ini adalah kepedulian LBRD kepada para penulis lokal dalam membantu mendokumentasikan karya-karya mereka ke dalam bentuk buku. Ini adalah sesuatu yang menggembirakan, karena generasi mendatang di Banten akan memiliki banyak jejak tulisan dari para pendahulunya